Gambar diambil dari :
http://smalley.cc/images/seek-patience.jpg
Topic starter : Jumat, 11 Juni 2010 (10:39 am)
I've been thinking about this for sometime.
What we say, the way we treat others, how we respond others.. sebenernya itu shows more about ourselves than the ones we're talking about, walau yaa.. tentu aja dari apa yang kita omongin tentang orang lain itu pasti ada bagian yang merupakan sebuah "kebenaran" juga sih, seberapa besar porsi "kebenarannya"? Hanya Dia yang tau, ahahaha :p
Tapii.. gua lebih prihatin ama orang yang suka mencaci maki orang lain dibanding ama orang yang dicaci maki, karena gimana yaa?
Susah bagi gua untuk percaya kalo orang yang punya hobi mencaci maki orang lain itu punya ketenangan jiwa serta kedamaian dalam dirinya.
*betapapun si pemaki ini sering meng-klaim dirinya sebagai orang yang telah menemukan 'pencerahan' dan kedamaian, dll ;p*
(pada akhirnya memang benar juga yang bilang "actions speak louder than words"!)
Mungkin memang orang yang dicaci maki itu punya kesalahan, but heyy.. there are soo many ways to tell people what they did wrong!
Bukan berarti ngga boleh marah, tapii.. marah juga ada seninyaa, marahlah dengan 'berkelas', jangan dengan gaya 'murahan', wakakakakak :p
Anywayy.. balik lagi ke soal kita itu adalah bagaimana kita merespon orang lain.
Gua jadi teringat akan sebuah percakapan di FB yang bersahut2an di foto salah satu temen gua, lupa sih tepatnya itu lagi ngomongin apaan pada awalnya, tapi gua inget, kurang lebih akhirnya nyambung ke soal gua ngomong gini ke temen gua itu..
"I can accompany you in the darkness, if you want. But since how we respond others are the reflections of what we want others to do when we're in the exactly same situation.. I'd rather be the helping hand for you to get out from the darkness and see the light again!"
Pada saat itu gua ngga terlalu sadar sih.
Maksudnyaa.. gua sadar apa yang gua ucapkan and I meant what I said, tapi gua ngga terlalu sadar betapa memang benar bahwa we can never be anyone else.
Kita hanya tau apa yang kita pikirkan, apa yang kita harapkan, apa yang kita pikir orang lain inginkan.
Sementara kenyataan yang sesungguhnya? Ya, tetap aja kita ngga tau!
We really can never be in anyone's shoes but our own!
Karena ketika kita mencoba menempatkan diri kita di "sepatu" mereka sekalipun, kita tetap membawa diri dan kepribadian kita dalam upaya "merasakan" apa yang sedang mereka rasakan.
And gua kembali diingatkan akan ayat yang gua baca beberapa waktu lalu, diambil dari Amsal 14:10 : Hati mengenal kepedihannya sendiri, dan orang lain tidak dapat turut merasakan kesenangannya.
Betapapun kerasnya usaha kita untuk memahami dan mengerti apa yang sedang dirasakan seseorang, kita ngga akan pernah benar2 mengerti apa yang sesungguhnya dia rasakan karena setiap perasaan itu sifatnya personal, dan hanya mereka yang mengalaminya yang bisa merasakan denyutan setiap kesedihan, kemarahan, kekecewaan, ataupun kegembiraannya, betapa naik turunnya gejolak perasaan dalam diri mereka itu.
That is why.. tetaplah penting untuk secara berkala menanyakan pada orang lain apa yang mereka inginkan, dan bukan terus menerus mengasumsikan kita tau apa yang mereka inginkan, karena apa yang kita pikir mereka inginkan belon tentu apa yang memang mereka inginkan.
"I can accompany you in the darkness, if you want. But since how we respond others are the reflections of what we want others to do when we're in the exactly same situation.. I'd rather be the helping hand for you to get out from the darkness and see the light again!"
I'm good at spoiling myself in my down moments. Gua lumayan terlatih untuk terus menerus meneteskan perasan lemon ke luka yang masih menganga. And gua ngga perlu orang lain untuk melakukan hal yang sama untuk gua :p
What I need is someone yang akan merebut lemon itu dari tangan gua dan membuangnya keluar jendela.
Bukan membiarkan gua terus menerus berada dalam kegelapan walau dengan setia dia tetap menemani gua dalam kegelapan sekalipun, tapi someone yang menggenggam tangan gua and membimbing gua mencari pintu dan menyambut datangnya mentari lagi.
Kuncinya sepertinya kembali lagi ke masalah komunikasi.
Harus terus belajar berkomunikasi yang baik dan benar dengan orang lain karena seringkali pertengkaran yang terjadi itu bersumber dari masalah miskomunikasi atau terjadinya komunikasi yang buruk di antara kedua belah pihak yang mana pada akhirnya apa yang dimaksudkan tidak tersampaikan dengan benar ke pihak yang satunya.
*hmm*
Topic ended : Jumat, 11 Juni 2010 (11:23 am)
-Indah-
the soul traveller
I've been thinking about this for sometime.
What we say, the way we treat others, how we respond others.. sebenernya itu shows more about ourselves than the ones we're talking about, walau yaa.. tentu aja dari apa yang kita omongin tentang orang lain itu pasti ada bagian yang merupakan sebuah "kebenaran" juga sih, seberapa besar porsi "kebenarannya"? Hanya Dia yang tau, ahahaha :p
Tapii.. gua lebih prihatin ama orang yang suka mencaci maki orang lain dibanding ama orang yang dicaci maki, karena gimana yaa?
Susah bagi gua untuk percaya kalo orang yang punya hobi mencaci maki orang lain itu punya ketenangan jiwa serta kedamaian dalam dirinya.
*betapapun si pemaki ini sering meng-klaim dirinya sebagai orang yang telah menemukan 'pencerahan' dan kedamaian, dll ;p*
(pada akhirnya memang benar juga yang bilang "actions speak louder than words"!)
Mungkin memang orang yang dicaci maki itu punya kesalahan, but heyy.. there are soo many ways to tell people what they did wrong!
Bukan berarti ngga boleh marah, tapii.. marah juga ada seninyaa, marahlah dengan 'berkelas', jangan dengan gaya 'murahan', wakakakakak :p
Anywayy.. balik lagi ke soal kita itu adalah bagaimana kita merespon orang lain.
Gua jadi teringat akan sebuah percakapan di FB yang bersahut2an di foto salah satu temen gua, lupa sih tepatnya itu lagi ngomongin apaan pada awalnya, tapi gua inget, kurang lebih akhirnya nyambung ke soal gua ngomong gini ke temen gua itu..
"I can accompany you in the darkness, if you want. But since how we respond others are the reflections of what we want others to do when we're in the exactly same situation.. I'd rather be the helping hand for you to get out from the darkness and see the light again!"
Pada saat itu gua ngga terlalu sadar sih.
Maksudnyaa.. gua sadar apa yang gua ucapkan and I meant what I said, tapi gua ngga terlalu sadar betapa memang benar bahwa we can never be anyone else.
Kita hanya tau apa yang kita pikirkan, apa yang kita harapkan, apa yang kita pikir orang lain inginkan.
Sementara kenyataan yang sesungguhnya? Ya, tetap aja kita ngga tau!
We really can never be in anyone's shoes but our own!
Karena ketika kita mencoba menempatkan diri kita di "sepatu" mereka sekalipun, kita tetap membawa diri dan kepribadian kita dalam upaya "merasakan" apa yang sedang mereka rasakan.
And gua kembali diingatkan akan ayat yang gua baca beberapa waktu lalu, diambil dari Amsal 14:10 : Hati mengenal kepedihannya sendiri, dan orang lain tidak dapat turut merasakan kesenangannya.
Betapapun kerasnya usaha kita untuk memahami dan mengerti apa yang sedang dirasakan seseorang, kita ngga akan pernah benar2 mengerti apa yang sesungguhnya dia rasakan karena setiap perasaan itu sifatnya personal, dan hanya mereka yang mengalaminya yang bisa merasakan denyutan setiap kesedihan, kemarahan, kekecewaan, ataupun kegembiraannya, betapa naik turunnya gejolak perasaan dalam diri mereka itu.
That is why.. tetaplah penting untuk secara berkala menanyakan pada orang lain apa yang mereka inginkan, dan bukan terus menerus mengasumsikan kita tau apa yang mereka inginkan, karena apa yang kita pikir mereka inginkan belon tentu apa yang memang mereka inginkan.
"I can accompany you in the darkness, if you want. But since how we respond others are the reflections of what we want others to do when we're in the exactly same situation.. I'd rather be the helping hand for you to get out from the darkness and see the light again!"
I'm good at spoiling myself in my down moments. Gua lumayan terlatih untuk terus menerus meneteskan perasan lemon ke luka yang masih menganga. And gua ngga perlu orang lain untuk melakukan hal yang sama untuk gua :p
What I need is someone yang akan merebut lemon itu dari tangan gua dan membuangnya keluar jendela.
Bukan membiarkan gua terus menerus berada dalam kegelapan walau dengan setia dia tetap menemani gua dalam kegelapan sekalipun, tapi someone yang menggenggam tangan gua and membimbing gua mencari pintu dan menyambut datangnya mentari lagi.
Kuncinya sepertinya kembali lagi ke masalah komunikasi.
Harus terus belajar berkomunikasi yang baik dan benar dengan orang lain karena seringkali pertengkaran yang terjadi itu bersumber dari masalah miskomunikasi atau terjadinya komunikasi yang buruk di antara kedua belah pihak yang mana pada akhirnya apa yang dimaksudkan tidak tersampaikan dengan benar ke pihak yang satunya.
*hmm*
Topic ended : Jumat, 11 Juni 2010 (11:23 am)
-Indah-
the soul traveller
No comments:
Post a Comment